Kajian Pengembangan Modal Bisnis Baru serta Framework Model Bisnis Pembiayaan Kepada UMKM pada BLU PIP

RINGKASAN EXECUTIVE

Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) memiliki peran besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Peran UMKM dimaksud antara lain berupa kontribusi terhadap PDB sebesar 61,07% atau senilai 8.573,89 triliun rupiah serta kemampuan menyerap 97% dari total tenaga kerja (Kementerian Koperasi dan UKM, 2021). Atas dasar alasan inilah, pemerintah memberikan banyak dukungan dalam rangka mengembangkan potensi dan kontribusiUMKM. Salah satu bentuk dukungan pemerintah dalam pengembangan UMKM tersebut yaitu melalui perluasan akses pembiayaan, dimana salah satu implementasinya diejawantahkan melalui pembentukan satker di bawah koordinasi Kementerian Keuangan, yaitu Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah (BLU PIP). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 91 Tahun 2017, BLU PIP sendiri memiliki tugas melaksanakan· koordinasi di bidang pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara fungsinya antara lain: (1) melaksanakan kerja sama pendanaan pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah dengan Pemerintah Daerah dan/ atau pihak lain; (2) mengelola pembiayaan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah; (3) melakukan kerja sama penyaluran pembiayaan dengan lembaga penyalur; dan (4) melakukan pengembangan bisnis pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Salah satu program BLU PIP yang mendukung pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagaimana dijelaskan di atas adalah program Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.05/2020. Kebijakan Pembiayaan UMi merupakan kebijakan pemerintah dalam bentuk akses pembiayaan atau modal kerja bagi pelaku usaha mikro dengan target sasaran lapis terbawah atau ultra mikro. Tujuannya adalah untuk menyediakan fasilitas pembiayaan yang mudah dan cepat bagi usaha ultra mikro serta menambah jumlah wirausaha yang difasilitasi pemerintah. Sampai dengan akhir tahun 2021, PIP menyalurkan produk pembiayaan UMI melalui skema penyaluran langsung (PNM, Pegadaian dan LKBB Non-Afiliasi Pemerintah) dan penyaluran tidak langsung (BAV melalui Lembaga Linkage). Secara kumulatif, pembiayaan UMi telah menjangkau 5,4 juta orang pelaku usaha dengan nilai nominal penyaluran mencapai Rp 18,1 Triliun. Secara geografis, penyaluran telah menjangkau 503 kabupaten/kota atau 98% dari total 514 kabupaten/kota se-Indonesia. Namun demikian, program pembiayaan ini juga memiliki keterbatasan dalam hal keterbatasan segmen yang dilayani, dan cakupan wilayah pelayanan. Adanya keterbatasan segmen yang dilayani dikarenakan pembiayaan UMi dengan pola melalui lembaga penyalur ini disalurkan kepada target atau pangsa pasar dari masing-masing lembaga pembiayaan tersebut. Dalam hal cakupan wilayah pelayanan diketahui bahwa masih terdapat wilayah kabupaten/kota yang belum berkesempatan mendapatkan pembiayaan UMi. Dari 514 kabupaten/kota yang ada di telah mencakup debitur pada 498 kabupaten/kota dan sisanya sebanyak 16 kabupaten/kota belum dapat terlayani. Selain adanya tantangan dari sisi segmen dan cakupan wilayah pada Pembiayaan UMi, adanya perubahan pola usaha UMKM selama kondisi pandemi dan adanya Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PPEN) menjadi faktor eksternal yang menimbulkan tantangan baru dalam proses bisnis BLU PIP. Sebagai satker pemerintah yang memiliki tugas utama di bidang pembiayaan UMKM, BLU PIP juga perlu mendukung pelaksanaan PPEN serta pencapaian targetnya. Namun demikian, dukungan dimaksud tidak dapat dipenuhi hanya melalui program pembiayaan UMi seperti yang telah dilakukan selama ini. BLU PIP perlu mengoptimalkan tugasnya sebagaimana diatur dalam PMK No 91 Tahun 2017 yaitu di bidang pembiayaan usaha mikro, kecil dan menengah. Untuk itu, BLU PIP perlu merencanakan pertumbuhan organisasi serta program dan kegiatannya di masa depan untuk dapat memenuhi tugasnya tersebut. Atas dasar hal tersebut, PIP Bersama UKM Center FEB UI melakukan kajian untuk menganalisis opsi strategi pertumbuhan yang paling sesuai untuk PIP, sehingga PIP dapat mengotimalkan tugas dan fungsinya sebagaimana dijelaskan di atas. Kajian ini diharapkan dapat menjelaskan opsi-opsi strategi perumbuhan yang tersedia bagi BLU PIP serta memberikan gambaran strategi mana saja yang dapat diterapkan di jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dengan mempertimbangkan tujuan, ruang lingkup dan keluaran yang diharapkan dari kajian ini maka digunakan metode yang dipilih adalah kombinasi dari metode kajian yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Pada metode kuantitatif dilakukan pemetaan atas dasar data Susenas 2021 untuk dapat menggali sektor mana yang paling potensial menjadi target pasar pembiayaan PIP. Kemudian hasil analisis kuantitatif ini diperdalam dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara untuk menganalisis tantangan pembiayaan yang ada pada sektor tersebut dan mengembangkan skema yang sesuai. Selanjutnya input dari FGD serta wawancara juga bermanfaat sebagai acuan dalam Menyusun peta jalan implementasi strategi pertumbuhan PIP. Selain metode-metode tersebut, analisis atas literatur dan peraturan juga menjadi salah satu metode yang dilakukan.

Berdasarkan hasil pemetaan dengan kerangka matriks pertumbuhan Ansoff, strategi pertumbuhan yang paling sesuai dengan kondisi PIP saat ini adalah: (1) strategi pengembangan pasar, yaitu dengan melakukan perluasan wilayah dan sektor sasaran pembiayaan, serta (2) strategi diversifikasi, yaitu mengembangkan program pembiayaan dengan lembaga baru dan model yang juga baru. Strategi perluasan pasar dilakukan dengan menyasar target sektoral yang dianggap masih memiliki potensi yang relatif besar. Berdasarkan hasil analisis terhadap data susenas, sektor yang sangat potensial sebagai target pasar pembiayaan PIP adalah sektor pertanian. Hal ini dikarenakan sektor pertanian memiliki tingkat penetrasi yang masih sangat rendah dimana seluruh sub sektor pertanian baik palawija, hortikultura, perkebunan, kehutanan, perikanan hingga peternakan kesemuanya memiliki penetrasi pinjaman kurang dari 25%. Dengan kata lain, lebih dari 75% dari UMKM di tiap sub sektor pertanian tersebut belum memiliki akses terhadap pembiayaan. Bahkan, untuk sektor perkebunan dan kehutanan proporsi UMKM yang belum mendapatkan pembiayaan mencapai 82.3%. Namun demikian, penyaluran pembiayaan pada sektor pertanian tidak dapat diperlakukan sama dengan penyaluran pembiayaan pada sektor lain. Hal ini tidak lain disebabkan oleh karakteristik dari usaha di sektor pertanian yang relatif berbeda dari sisi cashflow dan resiko. Sektor pertanian berbeda dengan usaha pada umumnya yang memiliki cashflow harian ataupun mingguan. Cashflow pada sektor pertanian bersifat musiman yaitu pada saat musim panen terjadi. Hal ini tentu menimbulkan ketidakcocokan pada skema kredit pada skala mikro yang umumnya mensyaratkan pengembalian dalam jangka waktu bulanan, mingguan atau bahkan harian. Selain itu sektor pertanian cukup rentan dengan resiko eksternal yang dapat menyebabkan terjadinya gagal panen seperti serangan hama, perubahan cuaca/iklim ataupun musibah alam seperti banjir. Salah satu alternatif skema penyaluran kredit di sektor pertaniah adalah skema closed loop yang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian Bersama dengan Kemenko Perekonomian dan juga Kamar Dagang dan Industri. Skema ini tidak terbatas pada aspek pembiayaan saja, melainkan merupakan model kemitraan agribisnis dari hulu sampai hilir yang dikembangkan dalam ekosistem yang berbasis digital, teknik budi daya Good Agricultural Practices, sistem logistik yang baik, serta jaminan pasar dan harga yang bersaing oleh Off-taker. Di dalam skema closed loop, PIP dapat berperan sebagai lembaga keuangan yang menyediakan fasilitas pembiayaan dengan tingkat bunga yang rendah. Berdasarkan skema ini, PIP dapat menjalin kerjasama dengan tiga pihak yaitu (i) koperasi petani, (ii) lembaga penjaminan, (iii) perusahaan off-taker sektor pertanian. Strategi lainnya yang juga potensial untuk dilaksanakan adalah strategi diversifikasi. Berdasarkan matriks Anshoff, strategi diversifikasi dapat dilakukan melalui penetrasi terhadap pasar baru dan juga produk baru pada saat yang sama. Hal ini dilakukan untuk menciptakan sebuah competitive advantages yang cukup signifikan dibandingkan produk saat ini. Diversifikasi dapat dilakukan dengan membuat pola pembiayaan yang baru pada segmen baru. Perlu diperhatikan bahwa pembiayaan baru ini tidak berarti pola pembiayaan yang dilakukan berbeda sepenuhnya.

Mekanisme kerja sebagai lembaga koordinator pembiayaan membuat PIP terbiasa bekerja sama dengan para lembaga keuangan bukan bank sebagai penyalur. Hal ini membuat proses penyaluran pembiayaan PIP menjadi lebih prudent. Mekanisme ini memungkinkan PIP untuk menyalurkan pembiayaan dengan resiko yang lebih rendah karena ada transfer resiko yang dilakukan oleh PIP kepada lembaga penyalur. Pada sisi lain, mekanisme ini juga memiliki dampak kurang baik bagi PIP. Dalam proses bisnis yang ada saat ini, kegiatan penyaluran pembiayaan dilakukan oleh penyalur, mulai dari pencarian nasabah, perjanjian kontrak, penyaluran hingga monitoring. PIP sendiri melakukan monitoring independen melalui KPPN dan juga Kanwil Perbendaharaan untuk memastikan proses penyaluran berjalan dengan baik. Meskipun begitu, sistem monitoring ini tidak berkaitan langsung dengan alur pembiayaan yang dilakukan oleh penyalur. Kondisi ini membuat pengetahuan mengenai penyaluran pembiayaan secara langsung masih sangat terbatas pada internal PIP. Pada strategi diversifikasi, PIP perlu melakukan kolaborasi yang lebih dalam dengan lembaga penyalur yang dipilih untuk dapat mengoptimalkan penetrasi pasar dan kemanfaatan produk pembiayaannya. Berdasarkan hasil analisa terhadap berbagai alternatif lembaga penyalur potensial dari sisi resiko dan besaran pembiayaan, maka direkomendasikan kepada PIP untuk dapat mencoba melakukan pembiayaan melalui tech start-up. Pembiayaan melalui lembaga tech start-up memiliki tingkat resiko dan juga besaran pembiayaan yang relatif rendah bila dibandingkan lembaga penyalur lainnya. Tech star-tup secara tidak langsung berperan sebagai pendukung ataupun enabler bagi para pelaku UMKM. Dalam kondisi ini, setiap tech start-up dalam ekosistem ini berusaha untuk memberikan manfaat semaksimal mungkin dalam bentuk penyediaan fasilitas bisnis bagi para pelaku UMKM. Fasilitas ini dapat sangat beragam sesuai dengan fokus dari tech start-up itu sendiri. Bentuk fasilitas secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu aspek penyediaan pasar, penyediaan pembiayaan dan penyediaan teknologi dan operasional. Sehubungan dengan adanya POJK No 10 Tahun 2022, maka jenis tech start-up yang dapat menjalin kerjasama dengan PIP adalah: (1) tech startup berbasis penyedia pasar dengan menyediakan pembiayaan working capital bagi pelaku usaha mikro kecil yang telah memiliki kinerja yang baik di tech startup tersebut, dan (2) tech start-up penyedia teknologi dengan menyediakan modal untuk melakukan investasi capital expenditure dalam menerapkan teknologi atau bisnis yang dimiliki oleh tech start-up tersebut. Opsi pertama adalah model kerja sama dengan tech start-up penyedia akses pasar. Pada tech start-up ini, PIP dapat menyediakan pembiayaan working capital bagi pelaku usaha mikro kecil yang telah memiliki kinerjayang baik di tech start-up tersebut. Pembiayaan ini dapat membantu pelaku UMKM untuk mendapatkan modal kerja lebih cepat dan melakukan produksi sebelum seluruh barangnya terjual.

Berkaitan dengan Peraturan OJK No 10 Tahun 2022, pembiayaan yang dilakukan oleh tech start-up penyedia pasar tidak bisa dilakukan dengan mekanisme pembiayaan pada umumnya seperti yang dilakukan oleh peer-to-peer lending. Oleh karena itu, terdapat beberapa mekanisme pembiayaan yang dapat dilakukan. Pertama, pembiayaan dapat dilakukan dalam bentuk pembelian persediaan atau konsinyasi. Pada mekanisme ini, tech start-up memberikan dana dengan jumlah tertentu dimana besarannya sesuai dengan nilai persediaan barang yang tersedia di platform tech start-up dari UMKM tersebut. Dana kemudian dapat diberikan kepada UMKM akan tetapi posisi barang persediaan tidak perlu dialihkan kepada tech start-up. Tech start-up hanya perlu memotong dana hasil penjualan setiap ada penjualan barang yang sudah dibeli. Apabila terjadi gagal bayar, maka tech start-up dapat menghentikan penggunaan akun yang biasa digunakan oleh UMKM sehingga akan memberikan kerugian tersendiri bagi UMKM. Selain menggunakan mekanisme berupa pembelian persediaan, pembiayaan juga dapat diberikan dalam bentuk pembelian bahan baku. Pembelian ini dapat dilakukan dengan menyediakan bahan baku tertentu bagi pelaku UMKM. Dalam kondisi pasar yang telah siap, pembiayaan ini juga dapat dilakukan dengan menyediakan uang elektronik yang hanya bisa digunakan untuk membeli bahan baku dan tidak untuk keperluan konsumtif.

Dalam menjalankan skema ini, PIP dapat bekerja sama dengan tech start-up dalam melakukan screening dan menyediakan informasi yang digunakan sebagai dasar melakukan pembiayaan dan pengganti jaminan. PIP perlu memastikan kualitas dari tech start-up yang menjadi mitra, terutama dalam aspek kemampuan mendapatkan pembeli yang terlihat dari volume transaksi di tech start-up tersebut. Hal ini menjadi penting mengingat kesuksesan program ini akan bergantung pada keberhasilan pelaku UMKM yang dibiayai untuk melakukan penjualan barang pada tech start-up tersebut. Oleh karena itu, skema ini sebaiknya dijalankan pada tech start-up yang telah memiliki volume transaksi besar. Pada pola kerjasama lainnya yaitu dengan tech start-up penyedia teknologi, PIP dapat membantu dengan memberikan pembiayaan kepada UMKM yang ingin menerapkan teknologi digital yang dimiliki oleh tech startup tersebut. PIP akan membeli produk tersebut dari tech start-up untuk kemudian diberikan kepada pelaku UMKM. Pelaku UMKM selanjutnya akan membayarkan biaya produk tersebut kepada PIP secara bertahap.

Dengan menggunakan mekanisme ini, pelaku UMKM dapat merasakan
manfaat dari teknologi digital yang digunakan sebelum memenuhi kewajiban untuk melakukan pembayaran. Manfaat atas kerjasama ini juga akan dirasakan oleh tech start-up penyedia teknologi, yaitu dengan memberikan kemungkinan bagi para konsumen dari teknologi yang mereka buat, yaitu UMKM sendiri, untuk mampu mendapatkan produk mereka dengan lebih mudah, yaitu melalui mekanisme kredit. Secara tidak langsung, opsi ini akan meningkatkan penjualan produk tech start-up dan di saat yang sama juga tidak perlu mengeluarkan kas untuk memfasilitasi program tersebut. Namun demikian tantangan pada kerjasama ini adalah dari sisi kemampuan mengelola pembiayaan serta kesiapan dalam menyesuaikan mekanisme dengan regulasi. Banyak tech start-up penyedia teknologi belum memiliki infrastruktur untuk menyalurkan pembiayaan. Kondisi ini membuat mereka harus melakukan investasi dengan mendirikan divisi atau bagian yang mengelola sistem pembiayaan. Tantangan lain dari mekanisme ini adalah kesiapan dari tech start-up untuk bersedia menyesuaikan mekanisme pembiayaan dengan regulasi dimana PIP dapat masuk. Seperti yang dapat dibahas sebelumnya, PIP tidak dapat masuk secara langsung dalam mekanisme pembiayaan peer-to-peer lending seperti pada umumnya sehingga opsi yang digunakan adalah pembelian capital expenditure. Dalam menjalankan kerjasama ini, PIP perlu benar-benar memastikan bahwa tech start-up yang menjadi mitra memiliki system/teknologi yang berdampak secara positif terhadap usaha dari para pelaku UMKM. Hal ini dikarenakan apabila tidak maka pembiayaan ini hanya akan membebani para pelaku UMKM. Sebagai tambahan dalam melakukan kegiatan ini, PIP juga dapat mewajibkan para tech start-up untuk melakukan pendampingan terhadap penerapan produk mereka bagi UMKM. Untuk memaksimalkan implementasi strategi pertumbuhan baik perluasan pasar maupun diversifikasi sebagaimana dijelaskan di atas, PIP perlu memperhatikan hal-hal berikut.

  1. Penguatan koordinasi di dalam Lembaga/kementerian keuangan serta antar K/L untuk menghindari tumpeng tindihnya akses serta kemanfaatan antar program/kegiatan pembiayaan. Selain itu, penguatan koordinasi juga akan membantu pelaksanaan strategi perluasan pasar dan diversifikasi menjadi lebih efektif dan efisien.
  2. Pemetaan lebih lanjut karakteristik UMKM dan kebutuhan pembiayaannya sebagai salah satu dasar referensi dalam Menyusun rincian skema dan prosedur pembiayaan baik pada strategi perluasan pasar maupun strategi diversifikasi.
  3. Pertimbangan terkait perlu adanya modifikasi dan/atau penambahan beberapa peraturan dan petunjuk teknis dalam skema pembiayaan UMi-nya saat ini, terutama yang terkait dengan pasar yang baru di sektor pertanian mengingat adanya risiko-risiko khusus yang ada di sektor pertanian.
  4. Penjajakan kerjasama dengan beberapa jenis lembaga penyalur dalam mengoptimalkan pasar pembiayaan di sektor pertanian seperti Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani, Koperasi dan Off-Taker.
  5. Perkuatan manajemen risiko pembiayaan melalui memperkuat fungsi pembinaan baik pada UMKM maupun lembaga penyalur serta stakeholder lainnya, mengoptimalkan peran penyalur dalam mengendalikan risiko pembiayaan dan melakukan kerjasama dengan lembaga asuransi dalam memitigasi risiko gagal panen.
  6. Perbaikan sistem internal utamanya terkait investasi teknologi serta manajemen data yang lebih komprehensif, sehingga pelaksanaan strategi diversifikasi dapat dilaksanakan dengan efisien dan optimal.
  7. Pelaksanaan kerja sama dengan tech startup berbasis penyedia pasar dalam penyediaan pembiayaan working capital bagi pelaku usaha mikro kecil yang telah memiliki kinerja yang baik di tech startup tersebut; serta dalam melakukan screening dan penyedia informasi sebagai dasar melakukan pembiayaan dan pengganti jaminan. Beberapa contoh startup yang relevan dalam kerjasama ini di antaranya adalah Tokopedia, shopee, bukalapak, dan Lazada.
  8. Penyediaan modal bagi tech startup berbasis penyedia teknologi oleh PIP untuk melakukan investasi capital expenditure dalam menerapkan teknologi atau bisnis yang dimiliki oleh tech startup tersebut. Pengembalian dapat dilakukan setelah dana investasi memberikan dampak terhadap bisnis berupa peningkatan efisiensi dan efektifitas bisnis. Beberapa contoh startup yang relevan dalam kerjasama ini di antaranya adalah Moka, Temanbisnis, Waresix, dan Sirclo.
  9. Pemantauan perkembangan kebijakan terkait POJK No 10 Tahun 2022. Adanya perubahan pada peraturan tersebut memungkinkan adanya kolaborasi PIP dengan tech startup berbasis pembiayaan sebagai penyalur pembiayaan bagi pelaku usaha mikro kecil dengan menjadi penyediaan sumber pembiayaan yang dapat disalurkan kepada para pelaku usaha mikro kecil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.
You need to agree with the terms to proceed

Menu